Konvergensi Media
![]() |
Sumber Bacaan |
JUDUL : KONVERGENSI MEDIA
PENULIS : Dr. DUDI ISKANDAR, S.Ag , M.I.Kom
PENERBIT : PENERBIT ANDI
TAHUN : 2018
TEBAL : 333 HALAMAN
1. KONVERGENSI MEDIA
Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi, dan bahkan metamorfosis. Roger Fidler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama mediamorfosis. Dalam pandangan Fidler, mediamorfosis memiliki 3 konsep, yaitu : koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Ia mendefinisikan mediamorfosis sebagai transformasi media komunikasi yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi.
Jika sebelumnya setiap jenis media massa berdiri sendiri / memiliki organisasi dan manajemen mandiri, kini mereka tergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan konvergensi. Makanya tidak heran bila sekarang hampir semua media cetak dan elektronik menyertainya dengan berita online, e-paper dan live streaming.
World Association of Newspapers (WAN) menemukan 6 trend efek internet terhadap jurnalisme. (1) Peningkatan Jurnalisme Partisipatif / komunikasi penghasil isi berita. (2) Munculnya riset audiensi tentang pola penggunaan media. (3) Penyebaran informasi (berita) yang dibuat sendiri secara online dan perangkat telepon seluler. (4) Penataan kembali newsroom yang lebih fokus terhadap audiensi. (5) Pengembangan bentuk baru tentang narasi / storytelling yang disesuaikan dengan audiensi dan saluran yang baru. (6) Pertembungan audiensi yang fokus pada penyesuaian berita dan juga penyesuaian berita pada multimedia.
Sementara itu, menurut John V. Pavlik dalam dunia digital, jurnalisme modern mengalami 5 area perubahan, antara lain , (1) Pengumpulan dan pelaporan berita. (2) Pengumpulan informasi, pengindeksan dan pengembangannya, khususnya untuk konten multimedia. (3) Proses, produksi, editorial. (4) Distribusi dan penerbitan, serta (5) Penampilan, tata letak, dan akses.
2. MEDIA SEBAGAI IDEOLOG DAN AKTOR POLITIK
Wacana merupakan kumpulan pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang bersifat plural, produktif, dan meyebar serta dikonstruksi dengan cara stimulasi.Wacana dalam satu rentang waktu tertentu, akan menghasilkan episteme baru. Dalam konteks ini memukingkan munculnya pengetahuan dan teori baru. Epistemologi yang berkenaan dengan praktik wacana dan aturan main yang berada dibaliknya adalah yang dikenal dengan arkeologi pengetahuan. Sementraa itu, genealogi menjadi model analisis yang melihat relasi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam satu bingkai wacana dalam satu situasi dan kondisi tertentu.Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat 5 wacana yang diangkat dalam penelitian ini menemukan signifikansinya.
- Kontestasi Media
Pada kampanye pilpres 2014 sangat terasa pilihan-pilihan politik media terhadap pasangan tertentu. Pilihan politik itu harus hati-hati diambil media karena akan berbenturan dengan sikap independensi media. beberapa grup seperti Metro TV, MNC, dan Viva memiliki keterkaitan dengan partai politik. Ini harus disikapi secara hati-hati oleh wartawan yang bernaung dibawah perusahaan media tersebut. Disisi lain, ada beberapa media yang tidak afiliasi dan keterkaitan dengan partai politik tertentu sehingga relatif bebas dalam menentukan sikap redaksinya dalam menyikapi kampanye pilpres 2014.
Polaritas pemberitaan di Metro TV, MNC, dan Vuva sangat kentara. Metro TV dengan Surya Paloh dan Partai Nasdem, Hary Tanoe di MNC dan Abu Rizal pada Viva. Masing-masing menggunakan media untuk kepentingan politik para pemiliknya. Televisi khususnya yang menggunakan frekuensi publik seharusnya digunakan untuk kepentingan publik bukan untuk kampanye politik golongan tertentu.
Harus diakui bahwa keberpihakan politik pilpres 2014 membuat media-media yang berafiliasi / dimiliki oleh politisi dari partai politik tertentu kualitas beritanya sangat buruk. Bahkan, untuk sekedar memenuhi kode etik jurnalistik saja tidak bisa. Peristiwa dibingkai untuk kepentingan politik pemilik medianya. Untuk memberikan porsi bagi lawan politik sangat sedikit kalau tidak dikatakan terpaksa. bahkan untuk media-media yang memiliki kepentingan politik tertentu. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menghadiahkan mereka dengan jullukan "Musuh Kebebasan Pers". Memang ironis, tetapi kenyataannya menunjukan hal demikian. mereka menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya.
3. POST - JURNALISM
Perkebangan Jurnalisme Kontemporer sangat mengerikan karena juranlisme berubah terus. Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan jurnalisme harus menyesuaikan dirinya. Namun, patokan-patokan membuat kebenaran (truth) harus disampaikan. kebenaran harus disampaiakn ; laporan komitmen terhadap fakta. Inilah yang belum berubah. Karena kalau komitmen jurnalisme terhadap laporan fakta pudar berarti Jurnalisme mati ; Jurnalisme selesai.
Realitas Jurnalisme ketika kampanye pilpres 2014 yang menjadi objek penelitian menunjukan bahwa ragam terhadap fakta sudah menjadi sesuatu yang biasa. perbedaan sudut pandang terhadap realitas, pengambilan sudut berita yang berlainan dan perbadaan pemahaman terhadap kode etik jurnalistik menjadi sesuatu yang lumrah. Beragam berita terhadap satu realitas yang sama tidak lagi dipandang sesuatu yang tabu.
Model keberagaman dalam kerja jurnalistik inilah bisa dipotret sebagai cikal bakal fenomena post-jurnalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-truth. Kamus Oxford mendefinisakn post-trtuth sebagai kondisi ketika fakta - dalam jurnalistik - tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. artinya fakta / peristiwa dalam sebuah berita hanya sebagai cikal-bakal semata, tetapi yang membentuk persepsi dan pengaruh ke publik adalah adukan emosi, rasa sentimen, dan keyakinan pribadi. Fakta dan peristiwa dibungkus oleh media dengan sangat ciamiknya sehingga menjadikan lebih indah dari yang sebenarnya. Ia tampak lebih fakual dari fakta yang sebenarnya
Komentar
Posting Komentar